Tulisan ini sebenarnya adalah essai dengan judul sama yang gw ingin ikutkan dalam kompetisi, tapi berhubung informasinya sangat detail sampai nggak sadar kalau lomba itu untuk jenjang dibawah gw, lo mau tau rasanya - sakit bro (╯°□°)╯︵ ┻━┻ ┻━┻ ︵╰(°□°)╯︵ ┻━┻
Essai ini dibuat hanya dalam hitungan < 3 Jam, kalau lo mulai nggak menemukan benang merahnya dan ingin muntah. Saran gw diawal siapkan dulu kantong mayat. Satu lagi, "gw" adalah kata haram dalam essai formal - ehhm ok bisa saya mulai? - selamat memuntahi.
--------------------------------------------------------------------------
Diawal saya ingin berbagi sebuah video TED yang inspiratif soal "Bagaimana Membisniskan Korupsi" karya Shaffi Mather, seorang sosio entrepreneur dan laywer asal India. Pemikiran beliau menurut saya fresh banget - salah satu solusi untuk mangatasi 1 Triliun Dollar transaksi suap (baca: korupsi) setiap tahun yang dicatat oleh Bank Dunia.
Ketika mendengar korupsi dilakukan oleh seseorang, maka saya berani menjamin kita sepakat bahwa perbuatan ini salah, Tetapi apa yang terjadi saat seseorang ada diposisi melakukan tindakan korupsi secara sadar?. Sebelum mulai membahasnya lebih jauh, kita harus menyamakan persepsi tentang definisi dan pengertian korupsi. Menurut Andi Hamzah, (2005) Korupsi berasal dari bahasa latin corupto cartumpen yang berarti; busuk atau rusak. Korupsi ialah perilaku buruk yang dilakukan seseorang secara tidak wajar atau tidak legal untuk memperkaya / menguntungkan diri sendiri.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Korupsi adalah:
1) Penyelewengan atau penggelapan (uang negara, perusahaan, dan sebagainya untuk keuntungan pribadi dan orang lain)
2) Menyelewengkan; menggelapkan (uang, dan sebagainya)
Mungkin dalam bahasa teknis terlihat begitu sederhana - mengambil hak orang lain / mencuri, seolah – olah korban pencurian (korupsi) adalah orang mampu yang kemudian bisa mengembalikan lagi kekayaannya. Padahal mayoritas korban adalah orang yang tidak mampu secara finansial, saya akan sederhanakan dan menganalogikan korupsi dengan bahasa yang lebih “merakyat” – Korupsi adalah kegiatan mengambil makanan seorang miskin yang akan mati karena kelaparan. Itu adalah gambaran paling sederhana, kenyataannya korupsi bisa berdampak pada 10, 100, 1000, bahkan jutaan orang miskin kelaparan. Begitu kejam bukan? Mungkin konseptual kata korupsi yang terlihat sederhana membuat orang yang melakukannya merasa tidak masalah mengambil sedikit materi yang bukan haknya.
Tongkat estafet Negara ini ada pada pemuda, kita harus sadar dan paham bahwa karakter seorang pemuda juga terbentuk sejak dia kanak – kanak. Dalam sebuah penelitian R. Yosi Aprian Sari, M.Si, Pujianto, M.Pd, dan Denny Darmawan, M.Sc membuktikan bahwa salah satu upaya membangun dan menjaga karakter pada anak-anak usia dini (9 – 12 tahun) adalah dengan mengontrol aktivitas anak terutama kegiatan usai sekolah. Mengontrol apa yang anak lakukan dalam keseharian atau saksikan dan dengar melalui media. Karena media seperti pisau bermata dua, yang memberikan input positif dan negatif berupa informasi dan pengajaran. Jadi apa pelajaran yang bisa anak kecil berusia 10 tahun ambil dari berita “Sang koruptor gayus tambunan, divonis 15 tahun dipenjara ber – AC dan di dalam masa penahanan bisa bepergian ke luar negeri”. Dalam bukunya Mantra, Dedy Corbuzier pernah membuat sebuah analogi menarik “Majikan cenderung mengajarkan pembantunya – hal hal yang tidak perlu, seperti memberitahukan sebuah berita bahwa ada pembantu yang memutilasi majikannya karena dendam” – Majikan itu mengedukasi pembantu dengan cara yang salah, yang dipahami oleh pembantu itu dua hal, pertama pembantu bisa membunuh majikannya, dan itu pernah terjadi dan dilakukan. Contoh ini, pada kasus berbeda bisa berlaku dalam mempengaruhi alam bawah sadar anak.
Terkadang media lebih memilih menceritakan berjam – jam soal “Apa kegiatan Nazaruddin” atau “Siapa Gayus Tambunan” dibanding “Bagaimana Sepak Terjang Dahlan Iskan” dan “Bagaimana Bob Sadino bisa menjadi Entrepreneur sukses Indonesia”. Prinsip Bad News is Good News harusnya menyadarkan kita bahwa mengubah media yang dewasa ini mayoritas money oriented sangatlah susah, fungsi pengawasan tertinggi adalah di kita, orang tua atau minimal orang – orang yang mengerti tentang apa yang patut dan tidak patut didengar anak pada usianya. Dalam hal ini kita diminta belajar menyaring informasi yang baik dan layak diberikan dan diterima oleh anak dalam usia tertentu.
Saya prihatin mendengar anak – anak menyanyikan lagu “Andai Aku Gayus Tambunan” dengan lancar, tetapi lupa lirik “Bintang Kecil” atau “Ambilkan Bulanku”- karya A. Mahmud. Saya adalah orang yang percaya apa yang kita dengar, lihat, rasa, pikir, dan lakukan saling terkait, akan membentuk karakter seseorang dan akhirnya terkolektif sebagai karakter sebuah bangsa.
Berikut adalah sebuah kisah fiksi yang contoh kondisinya sering terjadi dalam kehidupan nyata, tentang seorang anak dan pelajar bernama A, Anak pintar dari keluarga tidak mampu.
"A adalah anak SMA terpintar dikelas dan sekolahnya, mengikuti banyak lomba berskala nasional dan mengharumkan nama sekolah, belakangan banyak temannya yang menggunakan BlackBerry karena melihat di media hal ini sedang menjadi trend, karena malu A lalu berbohong dan bilang bahwa dia harus membayar sejumlah SPP yang notabenya sudah digratiskan sekolah karena prestasinya, dan membulatkan / melebih-lebihkan uang pembayaran buku dan perlengkapan sekolahnya, hanya agar bisa mengikuti trend. Secara alam bawah sadar, A telah mulai mentolerir dan membenarkan perbuatan yang dia ketahui salah.
Saat ujian nasional, karena takut tuntutan kelulusan, kepercayaan diri A yang terbangun selama 3 tahun hilang dalam 3 jam oleh sebuah kertas jawaban. A memilih untuk mencontek, kenapa? Karena seluruh temannya percaya, memilih, dan menggunakan jawaban itu. Akumulasi kegiatan salah -yang kemudian dibenarkan- ini akan terbangun dalam karakternya dikemudian hari nanti, saat ada kesempatan / kondisi yang mengarah pada kegiatan korupsi."
Dalam analogi ini ada begitu banyak faktor terlibat yang menyebabkan seorang pelajar A melakukan tindakan salah yang akan membangun karakternya di kemudian hari, ada berbagai peran dan kondisi yang terlibat didalamnya, yang harus kita lakukan adalah memastikan dan mengawal peran/kondisi itu semaksimal mungkin kearah yang positif untuk membangun karakter pelajar Indonesia yang memahami definisi dan pengertian bahaya laten korupsi lebih kepada menyengsarakan orang lain dibanding menguntungkan diri sendiri.
Demikianlah contoh dan aspek-aspek yang dapat menciptakan karakter pelajar di Indonesia yang mengarah ke budaya korupsi, korupsi besar dikemudian hari adalah akumulasi dari kesalahan kecil yang dibenarkan sejak dini. Membangun karakter pelajar Indonesia menjadi hal yang penting untuk mengubah jargon pemberantasan korupsi menjadi pencegahan korupsi, ajarkan tentang bahaya laten korupsi sejak dini.
Pustaka:
- Andi Hamzah. 2010. Pengertian Korupsi. <http://wawan-junaidi.blogspot.com/2010/11/pengertian-korupsi.html>
- Kamus Besar Bahasa Indonesia, Korupsi.
- Shaffi Mather. 2009. TED - a new way to fight corruption. India. <http://www.ted.com/talks/lang/en/shaffi_mather_a_new_way_to_fight_corruption.html>
- R. Yosi Aprian Sari, M.Si, Pujianto, M.Pd, dan Denny Darmawan, M.Sc. Edutainment For Children; Membangun Karakter Anak Usia Sekolah Dasar Melalui Pendidikan Sains. <http://lemlit.uny.ac.id/edutainment-children-membangun-karakter-anak-usia-sekolah-dasar-melalui-pendidikan-sains>
- Dedy Corbuzier. 2008. MANTRA. Jakarta
- Selebihnya pemikiran sendiri, sumpah berani kaya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar